08 March, 2013

#21 Byar Pet Itu Selalu Menghantui Kami

Oleh: Abdurrahman
Tiap hari masih mati lampu? Itulah faktanya yang sering terjadi di Kabupaten Tanah Bumbu. Seakan sulit dipercaya di tengah pesatnya pembangunan dan berlimpahnya sumber daya alam di Tanah Bumbu, kabupaten baru yang terus menggeliat karena roda perekonomiannya, tidak didukung dengan tersedianya tenaga listrik yang memadai. Ada banyak puluhan Bank yang statusnya bahkan kantor cabang dan kantor cabang pembantu, ruko-ruko besar, mini market, pabrik-pabrik industri, 44 hotel/penginapan, dan banyak kegiatan usaha lainnya, yang kesemuanya memerlukan listrik.
Dalam sebuah tulisan (Irawan, 2008) listrik adalah trigger bagi kelangsungan usaha. Artinya ketersediaan listrik yang mencukupi merupakan salah satu faktor pemicu keberlangsungan suatu usaha. Tanpa listrik sangat sulit untuk beraktifitas. Banyak kegiatan yang sangat menggantungkan pada listrik. Karena listrik merupakan sumber utama penggerak mesin.
Kebutuhan Listrik vs Ketersediaan Listrik
Pertama kali ke Batulicin, tepatnya di kecamatan Simpang Empat sekarang ini, pada bulan April 2006 hingga sekarang di tahun 2013, tidak ada perubahan yang cukup signifikan mengenai permasalahan listrik ini. Indikator permasalahan utama yang menjadi penilaian masyarakat sebagai konsumen listrik adalah seringnya byar pet (listrik mati). Tidak jarang terjadi listrik mati setiap hari dengan frekuensi yang beragam. Kadang satu kali, dua kali, bahkan tiga sampai empat kali listrik mati dalam sehari. Durasi matinya pun beragam dari 5 menit hingga paling lama 28 jam.
Pada sisi demand kebutuhan listrik meningkat, dengan terus dibangunnya komplek perumahan, ruko, kantor-kantor dan pabrik perusahaan. Sementara di sisi supply meskipun meningkat namun kecepatan penambahan ketersediaan daya listrik tidak mampu mengimbangi laju penambahan kebutuhan listrik masyarakat. Oleh karena itu dapat dipastikan pemadaman listrik akan terus dilakukan.
Sampai Kapan?
Tahun 2007 silam dalam suatu kesempatan kunjungan ke desa-desa di kecamatan Kusan Hulu, terdapat desa Hati’if yang tidak mempunyai jaringan listrik PLN. Desa ini berjarak sekitar 5 km dari desa Teluk Kepayang atau 60 km dari Kecamatan Simpang Empat. Mereka hanya mengandalkan PLTS yang merupakan bantuan dari Pemerintah kabupaten Tanah Bumbu. Entah mengapa listrik tidak sampai ke desa Hati’if. Padahal tidak jauh dari desa Hati’if, tepatnya di desa Teluk Kepayang perusahaan batubara pada saat itu sedang aktif melakukan kegiatan penambangan, yang nota bene batu bara adalah salah satu bahan pembangkit energi. Kemana larinya batu bara itu? Ternyata hanya sedikit yang dipergunakan untuk keperluan daerah. Produksi batubara tersebut sebagian besar dikirim keluar daerah, sebagian dikirim ke pembangkit listrik di pulau Jawa bahkan dikirim keluar negeri.
Bukankah ini hal ironi? Tanah Bumbu secara umum dikenal sebagai daerah penghasil sumber daya alam batu bara yang berkualitas. Namun di Tanah Bumbu sendiri keadaan listrik sangat miris. Sebagian besar wilayah Tanah Bumbu dialiri listrik yang bersumber dari pembangkit listrik PLTU Asam-Asam di kabupaten Tanah Laut yang menggunakan bahan bakar batu bara. Kemudian pembangkit listrik tenaga diesel di Pagatan Kecamatan Kusan Hilir, lalu sebagiannya lagi dari pembangkit Tarjun di wilayah kabupaten Kotabaru yang dibeli PLN dari kelebihan listrik pabrik semen PT. Indocement Tunggal Prakarsa. Berdasarkan pengamatan listrik yang bersumber dari PLTU Asam-Asam lebih sering mati dibandingkan dari pembangkit listrik di Tarjun. PLTU Asam-Asam sendiri menggunakan tenaga uap dari pembakaran batubara.
Seringnya listrik di wilayah Tanah Bumbu merupakan suatu hal yang sangat tidak mengenakkan. Menjalani kehidupan di sini menjadi semakin berat di saat harga – harga kebutuhan lebih mahal dibanding di daerah lain terutama di Banjarmasin. Listrik mati terus menghantui masyarakat. Listrik mati di siang hari, roda perekonomian masyarakat akan terganggu. Dampaknya, kantor pemerintahan menunda pelayanan kepada masyarakat. Mesin industri berhenti yang terus berdampak pada penurunan produksi. Mesin fotokopi mati. Mesin jahit listrik mati. Fertilizer obat dan alat kesehatan dan vaksin mati dan alat lain yang menggunakan listrik juga menjadi tidak berfungsi.
Jika listrik mati di malam hari, juga tidak kalah gentingnya. Kehidupan menjadi gelap, di tengah malam yang memang gelap, kecuali jika ada sinar bulan. Siswa tidak dapat belajar dengan nyaman, karena suasana gelap. Kekhawatiran orang tua bertambah ketika listrik mati malam hari, sedangkan besok siang ada ulangan. Belum lagi adanya ancaman bahaya kebakaran. Semuanya menjadi tidak nyaman ketika listrik mati.
Tanah Bumbu dan Jakarta
Ketika Tanah Bumbu mati listriknya, tidak banyak orang yang protes. Protesnya mungkin sambil lalu saja. Kemungkinan ada dua, yaitu bediam diri atau pasrah, kalau protes pada PLN, toh tidak ada gunanya juga. Dengan kata lain, tidak ada pengaruhnya juga. Kemungkinan kedua adalah acuh karena sudah terbiasa dan benar-benar dianggap sebagai suatu hal lumrah saja dan tidak menjadi masalah meskipun listrik mati setiap hari.
Sejak tahun 2001 hingga 2005 berdasarkan pengalaman tinggal di Jakarta, dalam rentang waktu tersebut, pernah terjadi listrik padam selama lebih kurang 2 jam. Apa reaksi masyarakat Jakarta saat itu. Luar biasa. Sangat responsif. Dunia usaha langsung protes. Pemberitaan di media tidak kalah garangnya. Diperkirakan milyaran rupiah pengusaha merugi karena listrik mati selama 2 jam tersebut.
Dua kondisi di atas sangat kontras. Bisa kah Tanah Bumbu terbebas dari pemadaman listrik seperti halnya Jakarta?. Bukankah Tanah Bumbu mempunyai salah satu sumber tenaga listrik, yaitu berupa Batu bara? PLN dalam hal ini mempunyai kewenangan mutlak untuk menjawab pertanyaan ini. Indonesia sudah lebih dari 67 tahun merdeka. Tapi belum terbebas dari belenggu pemadaman listrik.
Implikasi Kebijakan
Menggunakan sumber daya alam termasuk pula energi batu bara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah amanat dari Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Oleh karena itu siapanpun pemimpinnya, amanat Undang-Undang tetap amanat yang harus dijalankan. Pengelolaan sumber energi untuk pemenuhan listrik bagi rakyat Indonesia adalah wewenang yang diamanahkan dalam hal ini kepada PLN. Jika supply listrik tidak bisa memenuhi kebutuhan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka sesungguhnya ada sesuatu yang harus dievaluasi dan diperbaiki sistem pengelolaannya. Di pulau Jawa yang penduduknya lebih dari 100 jiwa saja listrik bisa tidak mati, padahal miskin sumber daya pembangkitnya. Seharusnya Pulau Kalimantan yang penduduknya hanya sekitar 13 juta saja, dan kaya sumber daya pembangkit listrik harusnya bisa tanpa byar pet. Semoga ke depannya, semua pihak yang berkepentingan terhadap masalah kelistrikan di Indonesia umumnya dan Tanah Bumbu khususnya menjadi terbuka dan memberikan perhatian yang serius melalui program yang nyata, mampu memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Tanah Bumbu, tanpa mengumbar janji – janji tanpa implementasi. Semoga