24 January, 2021

#48 Banjir, Mitigasi dan Sikap Bijak*

 *Tulisan dengan judul dan isi yang sama ini bersumber dari Kolom Opini yang ditulis oleh Abdurrahman di Harian Radar Banjarmasin edisi Selasa, 19 Januari 2021.


Banjir yang terjadi sekarang telah mematahkan mitos bahwa di Banjarmasin mempunyai peluang yang kecil mengalami banjir besar. Logikanya Banjarmasin yang berjuluk Kota Seribu Sungai memiliki banyak sungai besar hingga kecil yang dapat berfungsi sebagai “saluran air” untuk menampung air hujan. Selain itu, Banjarmasin juga mempunyai struktur tanah rawa yang dengan cepat dapat “menghisap” air hujan yang turun. Faktanya Banjarmasin saat ini sejak 14 Januari 2021 dilanda banjir yang cukup besar.

Banjir yang terjadi telah menggenangi pemukiman penduduk. Ketinggiannya bervariasi dari setinggi tumit hingga setinggi paha orang dewasa. Banjarmasin masih lebih beruntung. Daerah lain di sekitar Banjarmasin seperti Sungai Lulut, Sungai Tabuk, dan Gambut di Kabupaten Banjar, serta Handil Bakti di Kabupaten Barito Kuala jauh lebih parah. Banjir ada yang sampai menutupi sebagian atap rumah penduduk. Paling parah di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Tanah Laut. Informasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Selatan, banjir telah menghanyutkan rumah, meluluhlantakkan areal persawahan, memutus jalan provinsi dan merenggut korban jiwa.

Dalam kaitannya dengan banjir yang terjadi, ada dua hal penting yang dapat menjadi perhatian bersama. Pertama adalah pentingnya mitigasi dalam menghadapi bencana banjir; dan kedua adalah perlunya sikap bijak dalam mengelola sumber daya alam.

 

Pentingnya Mitigasi

Banjir di Banjarmasin dan Kalimantan Selatan umumnya dapat dikatakan sangat jarang terjadi. Banjir besar ini mempunyai kemiripan dengan banjir yang menjadi langganan di Ibu kota Jakarta. Banjarmasin tidaklah seperti Jakarta yang sudah sering mengalami banjir. Mitigasi bencana banjir di sana dengan kesigapan alat, perlengkapan dan personel yang dimiliki dapat dikatakan sangat mumpuni. Banjarmasin tidak sesiap kota Jakarta dalam menghadapi banjir ketika datang. Mitos Banjarmasin tidak akan mengalami banjir besar mungkin masih tertanam.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah menjelaskan mitigasi sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Oleh karena  itu, mitigasi terhadap bencana di Kalimantan Selatan menjadi prioritas pada masa mendatang. Mitigasi yang tepat akan menurunkan dan bahkan mencegah dampak yang berat. Kitapun dapat belajar mitigasi ini dari Kota Jakarta yang sudah mapan dalam menghadapi banjir. Meskipun alam kita tidak sama persis dengan Jakarta, namun beberapa di antaranya dapat kita sesuaikan dengan kondisi Kalimantan Selatan.

 

Bijak Mengelola Alam

Bencana banjir nyatanya tidak ujug-ujug terjadi. Betul jika hujan deras yang berhari-hari menjadi penyebab langsung banjir. Namun jika dilihat penyebab tidak langsungnya, menurut Manager Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, M. Jefri Raharja, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini. Namun demikian tulisan ini tidak memposisikan pada pembenaran pernyataan di atas. Sebab diperlukan pembuktian lebih lanjut. Namun seandainya pernyataan di atas terbukti benar. Maka diperlukan upaya untuk mengantisipasi potensi ancaman bencana pada masa mendatang.

Sejatinya beberapa elemen masyarakat telah mengingatkan ancaman potensi bencana ini. Tahun 2018 sejumlah aktivis yang mengatasnamakan Aliansi Meratus menyuarakan gerakan Save Meratus. Gerakan ini memperjuangkan agar wilayah Meratus yang berada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah tidak ditambang. Sebab Meratus bagi masyarakat Hulu Sungai Tengah adalah sumber penghidupan. Meratus di Hulu Sungai Tengah adalah wilayah terakhir yang belum ditambang sama sekali. Wilayah Meratus yang berada di tujuh kabupaten lain, yakni Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, Kotabaru, Banjar, Hulu Sungai Selatan, Balangan dan Tabalong telah lebih dulu dieksploitasi.

Pada satu sisi, pertambangan menjadi salah satu pemasukan pemerintah yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Pertambangan juga menjadi penggerak roda ekonomi Kalimantan Selatan. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Selatan merilis lebih dari 18 persen atau hampir seperlima dari total nilai ekonomi yang tercipta pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2019 berasal sektor ini. Kontribusi ini menjadi yang paling besar di antara sektor ekonomi lainnya. Ini artinya ekonomi Provinsi ini masih cukup kuat bergantung pada pertambangan.

Pada sisi lain, pertambangan juga menjadi ancaman lingkungan. Dampak dari pertambangan idealnya dapat diminimalisir dengan adanya reboisasi, revitalisasi lahan pertanian dan upaya penghijauan lainnya. Namun tetap saja ada nilai dari lingkungan yang telah menurun dan tidak dapat sepenuhnya kembali. Reboisasi tidak akan mengembalikan secara sempurna fungsi hutan dan struktur tanah yang sama persis dengan sebelum ditambang. Fungsi penyerapan airpun tidak serta merta dalam waktu singkat kembali optimal. Termasuk jenis dan jumlah flora fauna yang mungkin saja tidak kembali pada komunitas yang sama persis dengan sebelum pembukaan lahan.

Dengan memperhatikan kedua sisi ini, sikap arif dan bijaksana dalam mengelola alam berada pada urutan teratas. Alam diberdayakan dengan optimal untuk pembangunan, namun juga tidak dikeruk tanpa memperhatikan keberlanjutannya. Oleh karena itu konsep pembangunan berkelanjutan yang telah didengungkan oleh Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup di era Presiden Soeharto (1978-1993) masih relevan hingga saat ini.

Banjir sekarang ini menjadi pelajaran bagi Banjarmasin dan daerah lain di Kalimantan Selatan. Poin penting tulisan ini adalah pentingnya mitigasi bencana banjir yang mutlak disiapkan. Bahkan juga harus siap dengan jenis bencana lainnya. Mitigasi bencana juga bukan semata menjadi tanggung jawab BPBD dan Badan SAR (Search and Rescue), namun juga bagi seluruh elemen masyarakat. Kedua adalah pentingnya mengelola alam Kalimantan Selatan dengan sikap yang bijak, agar alam kita juga tetap “bersahabat”. Semoga Kalimantan Selatan kembali bangkit dari bencana banjir ini.