28 September, 2012

#18 Ketika Bahasa Inggris Menjadi Bahasa Kedua di Kampus

Di komunitas mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bahasa Inggris begitu familiar. Buku referensi ajar mayoritas berbahasa Inggris. Pengggunaan kosa kata seperti spanduk, poster, majalah dinding dan pengumuman lain memakai bahasa Inggris. Beberapa kelas kuliah adalah kelas international dengan pengantar belajar menggunakan bahasa Inggris. Mahasiswa negara lain juga kuliah di sini. Paling banyak saya ketemu dengan mahasiswa asal Jepang. Pembicaraan mereka pasti memakai bahasa Inggris. Sebagian lain adalah bule Eropa, dan mahasiswa dari negara Asia Tenggara. Bahkan ada dosen bule. Entahlah apakah dosen tetap atau dosen tamu. Oya... yang memberikan general lecture atau kuliah umum juga banyak dari luar dan mereka makai bahasa Inggris. Kampus ini memang luar biasa. Saat ini sedang dalam proses akreditasi international. Sehingga tidak heran bagi kalau masuk UI, harus lulus tes bahasa Inggris. Saya berkesimpulan bahasa Inggris memang sangat penting. Menguasai bahasa Inggris sama artinya menjadi bagian dari kemajuan globalisasi. Mau tidak mau jika kita ingin maju dan berinteraksi dengan luar, maka bahasa Inggris mutlak diperlukan. Tentu kita tidak mau, seperti katak dalam tempurung. Artinya kalau tidak bisa berbahasa Inggris, maka kita akan kesulitan berinteraksi dengan dunia luar, yang nota bene menggunakan bahasa Inggris. Mengapa penting menguasai bahasa Inggris minimal bahasa Inggris pasif? Pertama, dalam lingkungan kampus banyak ilmu pengetahuan yang didapatkan dari text book yang berbahasa Inggris. Karena buku yang selevel belum ada dibuat oleh orang Indonesia atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Walaupun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kadang bisa membingungkan maknanya, karena tidak semua frase dalam bahasa Inggris langsung bersesuaian arti dengan kosa kata bahasa Indonesia. Kedua, banyak beasiswa post graduate yang disediakan negara maju kepada mahasiswa Indonesia. Salah satu syaratnya adalah kemampuan penguasaan bahasa Inggris yang diukur dengan nilai tes TOEFL atau IELTS nya. Mahasiswa yang tidak terbiasa dengan bahasa Inggris tentu akan kesulitan memenuhi syarat ini. Namun sebaliknya mahasiswa yang sudah familiar dengan bahasa Inggris tentu akan lebih mudah memenuhi persyaratan yang satu ini.
Orang Indonesia menguasai bahasa Inggris bukan berarti mengenyampingkan bahasa Indonesia atau menomorduakan. Tidak sama sekali. Orang yang bisa bahasa Inggris akan menunjang penguasaan dia terhadap disiplin ilmunya, karena ilmu adalah universal dan global yang juga dipakai oleh orang di luar Indonesia. Sekali lagi penekanannya adalah jembatan untuk berinteraksi dengan luar adalah menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa keseharian, resmi, dan wajib dalam acara formal di Indonesia. Namun demikian bahasa Inggris sebaiknya bisa menjadi bahasa yang dikuasai selain bahasa Indonesia. Kita bisa mencontoh negara Malaysia, India, Jepang dan Hongkong yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi kedua. Mungkin sudah saatnya menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi kedua setidaknya di lingkungan kampus. Semoga.

17 September, 2012

#17 Bonus Demografi: Sebuah Awal Indonesia Menuju Negara Maju

Guru Besar Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo, Ph. D dalam “Debat Masalah Kependudukan di Kalangan Generasi Muda” dalam rangka memperingati Hari Kependudukan Sedunia 2012 pada bulan Agustus lalu, mengatakan “Bonus demografi Indonesia yang bakal terjadi pada satu hingga tiga dekade mendatang bakal menjadi pintu malapetaka jika gagal mengelolanya. Sebaliknya, bakal jadi jendela peluang bila berkualitas dan dikelola dengan baik.“ Di kalangan ahli dan pemerhati kependudukan serta pengambil kebijakan yang terkait dengan penduduk, istilah Bonus Demografi menjadi sebuah wacana yang hangat diperbincangkan. Apa itu bonus demografi dan apa urgensinya untuk dibahas bagi negara kita? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bonus demografi merupakan suatu istilah dalam ilmu kependudukan (demografi), baik ilmu demografi murni (pure demografi) maupun kajian kependudukan (population study). Sebelum menuju istilah bonus demografi, terdapat pengertian tentang angka ketergantungan (Dependency ratio) yang perlu dipahami. Angka ketergantungan adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) dengan non produktif (di luar usia 15-64 tahun) dikalikan 100. Usia non produktif dimaksud adalah anak di bawah usia 15 tahun dan lansia di atas 64 tahun. Angka ketergantungan menggambarkan berapa banyak orang usia non produktif yang hidupnya harus ditanggung oleh kelompok usia produktif. Sebagai gambaran, angka ketergantungan Indonesia tahun 2010 adalah sekitar 52. Artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung sekitar 52 penduduk usia non produktif. Angka ketergantungan Indonesia terus menurun. Berdasarkan data BPS, tahun 1971 sebesar 86, tahun 2000 menjadi 54 dan 2010 sebesar 52. Ahli demografi memperkirakan dalam rentang 2020- 2030 angka ketergantungan berada pada titik terendah yaitu sebesar 44. Hal ini terjadi sebagai dampak terjadinya baby boom atau keadaan banyaknya kelahiran bayi secara membludak, kemudian secara tajam tingkat kelahiran menurun karena keberhasilan program KB sekitar tahun 1990. Inilah yang kemudian mereka-mereka yang pada lahir sebagai bagian dari baby boom akan masuk pada kelompok usia produktif secara bersamaan. Dalam sejarah penduduk suatu negara hal ini hanya terjadi satu kali. Setelah tahun 2030 angka ketergantungan akan kembali naik, karena mereka yang dulunya usia produktif secara perlahan menjadi lansia sebagai bagian dari kelompok usia non produktif. Bonus demografi menjadi dasar meningkatkan produktivitas dan memicu pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya manusia. Pada rentang waktu 2010--2035, negara ini akan dipenuhi oleh usia produktif, jika mereka adalah orang yang berpendidikan, berketrampilan dan berpengetahuan, Indonesia dipastikan akan menjadi negara maju. Mereka yang produktif pada saat itu akan masuk menjadi bagian dari jumlah angkatan kerja yang sangat besar. Potensi angkatan kerja yang besar diharapkan membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Namun jika sebagian besar mereka tidak produktif dengan kata lain adalah pengangguran, suka hura-hura, pekerjaan tidak jelas, dugem, mengkonsumsi narkoba dan perbuatan negatif lainnya, maka bonus demografi akan menjadi sebuah malapetaka sebagaimana yang diutarakan Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo di atas. Maka satu-satunya jalan yang harus diambil adalah menyiapkan mereka menjadi manusia pembangunan yang produktif dalam arti sesungguhnya. Pemerintah dan kita semua harus menyadari anak – anak dan generasi muda saat ini adalah mereka yang menjadi bagian dari demografi tersebut dan menjadi aset pelaku pembangunan. Berikan mereka motivasi untuk belajar, berikan pendidikan setingggi – tingginya, dan permudah bagi mereka untuk mencapai itu. Kelak mereka akan membawa kemaslahatan bagi bangsa ini. Karena ini adalah potensi lebih Indonesia dibanding negara – negara maju di dunia (kecuali Cina dan AS) yaitu banyak penduduk usia produktif.

14 September, 2012

#16 Pengendalian Penduduk Pasca SP2010

Berbicara penduduk Indonesia tidak terlepas dari jumlah penduduk yang besar dan sebaran yang tidak merata antar wilayah. Hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 (SP2010) mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa. Hasil sensus ini melebihi dari proyeksi sebesar 234,2 juta jiwa. Begitu pula terjadi peningkatan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) periode tahun 2000-2010 sebesar 1,49% dari 1,45% pada periode tahun 1990-2000. Padahal Kepala BPS Rusman Hermawan pernah mengatakan pada Desember 2009 dalam rangka persiapan SP2010, bahwa potensi pertumbuhan penduduk tiap tahun dilihat sejak 2000-2009 sebesar 1,34 persen. Dengan jumlah penduduk yang besar tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar ke empat dunia setelah cina, india, dan amerika serikat. Terkait dengan jumlah penduduk Presiden SBY pada saat pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-67 Proklamasi Kemerdekaan RI mengatakan: “Jumlah penduduk yang semakin besar ini, tentu membawa tantangan bagi kita untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk,”. Jika laju pertumbuhan tidak dapat dikendalikan, dikhawatirkan terjadi berbagai masalah sosial terkait dengan penduduk yang besar. Oleh karena itu perlu diambil kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Presiden SBY menegaskan kebijakan pengendalian penduduk dalam lanjutan pidatonya. “Pemerintah berupaya menggalakkan kembali program Keluarga Berencana untuk menciptakan keluarga yang sehat dan sejahtera”. Pemerintah melalui BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) membuat rumusan kebijakan-kebijakan terkait kependudukan, salah satunya adalah Program Pengendalian Penduduk 2012 yang diperkuat dengan Undang-Undang RI Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Pada Pasal 18 UU tersebut secara jelas tujuan pengendalian penduduk, yaitu “ Pengendalian kuantitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lingkungan hidup baik yang berupa daya dukung alam maupun daya tampung lingkungan serta kondisi perkembangan sosial ekonomi dan budaya”. Sedangkan pada Pasal 20 disebutkan teknis pengendalian penduduk tersebut, “Untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga berencana melalui penyelenggaraan program keluarga berencana.” Masalah kedua adalah sebaran penduduk. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, Pulau Jawa masih menjadi wilayah terpadat di Indonesia, yaitu lebih dari separuh (57,5%) jumlah penduduk Indonesia menetap di pulau tersebut padahal luasnya hanya 6,8 persen dari total wilayah indonesia. Sebaran penduduk yang tidak merata di berbagai pulau adalah salah satu titik kelemahan yang harus diharmonisasikan. Untuk mengimbangi perbedaan densitas penduduk di provinsi-provinsi yang sangat rendah populasinya dapat ditempuh Indonesia pernah menerapkan transmigrasi walaupun cukup tinggi kompleksitasnya. Cara lain adalah dengan membuat kebijakan keluarga berencana yang berbeda untuk provinsi padat “dua anak cukup” dan untuk provinsi renggang “boleh lebih dari dua.” Kebijakan ini tentu menuntut penciptaan daya dukung sosial ekonomi tersendiri. Permasalahan penduduk merupakan kendala besar jika tidak dapat diarahkan, dibina dan dikendalikan. Apabila pemerintah dapat melakukan hal tersebut dengan meningkatkan kualitas penduduk maka jumlah penduduk yang besar akan menjadi manfaat, bukan masalah. Peningkatan kualitas penduduk secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan penduduk. Hal ini sejalan dengan program KB yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala BKKBN, Sugiri: “Fakta di lapangan menunjukkan keluarga yang memiliki anak lebih dari dua cenderung berasal dari keluarga kurang sejahtera” . Langkah bijak kita saat ini adalah mendukung kebijakan pengendalian penduduk yang dilakukan bersama pemerintah, lembaga-lembaga, dan masyarakat.

12 September, 2012

#15 Penguatan Sektor Industri dan Penanganan Kemiskinan

Seorang guru besar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto memaparkan dalam sebuah sesi kuliah. Beliau mendapatkan hasil sebuah studi kemiskinan di Indonesia, bahwa keberhasilan Indonesia menurunkan angka kemiskinan, disebabkan utamanya oleh tiga hal, yaitu; pertama karena keberhasilan program KB, keberhasilan perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian, dan ketiga adalah keinginan orang miskin untuk keluar dari kemiskinan. Poin pertama dan ketiga lebih mudah untuk dipahami. Program KB bertujuan menurunkan tingkat kelahiran (fertilitas), sehingga dengan turunnya fertilitas akan membuat laju pertumbuhan penduduk menurun, yang secara searah juga akan menurunkan penduduk miskin. Poin ketiga dijelaskan dengan adanya kesadaran diri yang mendorong mereka keluar dari kemiskinan, sehingga mereka akan berupaya dan berusaha ke arah kehidupan yang lebih baik, semisal bersekolah dan bekerja. Pada poin ke dua, keberhasilan perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian, diperlukan penjelasan yang mendalam. Jika hanya sekilas, maka akan muncul kesimpulan bahwa bekerja diluar sektor pertanian akan mampu keluar dari kemiskinan. Memang tidak sepenuhnya salah kesimpulan ini. Data BPS menunjukkan terjadi pergeseran struktur penduduk di atas 15 tahun yang bekerja. Pada tahun 2004 penduduk di atas 15 tahun yang bekerja di sektor pertanian sebesar 43,33 persen dan diluar sektor pertanian sebesar 56,67 persen. Di tahun 2011, hasil survei yang sama dilakukan BPS keaadaannya berubah, penduduk yang bekerja di sektor pertanian sudah turun menjadi 35,86 persen sebaliknya diluar sektor pertanian menjadi 64,14 persen. Jika secara faktual hasil studi benar demikian, pemerintah bisa mempertimbangkan implikasi studi ini dalam kebijakan program pengentasan kemiskinan. Namun demikian kita tidak secara mutlak meninggalkan sektor pertanian yang secara sejarah dan kultural telah ada dan secara aspek geografis mendukung usaha pertanian. Kita bisa melihat , negara Australia dengan usaha peternakan sapinya, Selandia Baru dengan usaha domba dan susu sapi, atau Amerika Serikat dengan gandum dan apel, dan negara Jepang dengan perikanan lautnya. Mereka termasuk negara maju, namun juga mengembangkan usaha pertanian yang justru sangat memperkuat struktur perekonomian negara. Negara Indonesia lebih hebat lagi, kekayaannya sangat beragam. Tidak hanya perikanan lautnya yang besar, peternakan sapi yang unggul, pertanian tanaman pangan beras, dan apel saja, namun lebih itu. Indonesia punya luasan tanaman karet dan sawit yang masuk tiga besar dunia. Namun dengan kondisi seperti itu, mengapa Indonesia belum sejajar sebagai negara maju? Jawabnya sederhana, PDB perkapita kita masih rendah dan angka kemiskinan masih tinggi jika dibandingkan dengan negara tersebut. Mengapa bisa demikian? Apa yang membedakan pertanian kita dengan negara maju? Dan apa yang harus kita lakukan? Kuncinya ada penguatan sektor industri dan sektor lain yang mendukung sektor pertanian. Sederhananya adalah semua hasil pertanian sedapat mungkin tidak dijual/diekspor dalam bentuk mentah. Diperlukan teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas, dan sektor industri yang mengolah bahan mentah pertanian menjadi bukan hanya bahan setengah jadi, namun menjadi bahan jadi. Kita ambil contoh, karet saat ini di ekspor dalam bentuk setengah jadi. Kedepannya, tidak lagi demikian, harus ada sektor industri yang siap mengolah karet setengah jadi menjadi sebuah barang akhir misalnya mainan anak-anak. Dengan demikian akan tercipta kesempatan lapangan kerja baru di luar pertanian. Penjelasan ini relevan dengan poin dua di atas bahwa keberhasilan perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian dapat menurunkan angka kemiskinan. Kita sudah pada jalur yang benar, namun masih lambat, sehingga perlu akselerasi – akselerasi yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk mendukung penguatan sektor industri, terlebih lagi negara kita sudah 67 tahun merdeka. Inilah yang menjadi alasan, pemerintah terus berupaya menurunkan angka kemiskinan yang secara multiplier effect akan meningkatkan PDB perkapita Indonesia.