“Korupsi
di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari
sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku tiap orde yang datang silih
berganti.”
Dua kalimat pembuka di atas dikutip dari
sebuah buku kuliah tentang korupsi. Menjadi sangat relevan untuk disampaikan
saat ini. Pesan tersebut seakan menjadi teorema yang akan terus dibuktikan pembenarannya.
Pembuktian teranyar terjadi di Provinsi Jambi.
Tidak tanggung-tanggung orang nomor satu di provinsi tersebut menjadi tersangkanya.
Sebelumnya orang nomor satu di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan. Sudah
kesekian kalinya pejabat di negeri ini menjadi pesakitan. Jangan-jangan korupsi
ini telah membudaya di kalangan birokrasi. Jenisnya bisa saja beragam dari
kelas teri hingga kelas kakap. Yang terungkap ke permukaan adalah kelas kakap. Yang
kelas di bawahnya bisa saja jumlah kasusnya lebih banyak.
Mohtar Mas’oed (1994)
mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban formal
suatu jabatan publik karena kehendak untuk memperoleh keuntungan ekonomis atau
status bagi diri sendiri, keluarga dekat. Tindak korupsi umumnya merupakan transaksi
dua pihak, yaitu pihak yang menduduki jabatan publik dan pihak yang bertindak sebagai
pribadi swasta.Tindakan yang disebut korupsi adalah transaksi di mana satu pihak
memberikan sesuatu yang berharga (uang atau aset lain yang bersifat langgeng seperti
hubungan keluarga atau persahabatan) untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas
keputusan-keputusan pemerintahan.
Korupsi adalah penyakit sosial. Berbagai
faktor melatarbelakangi terjadinya korupsi. Dorongan terbesar adalah syahwat
memperkaya diri. Hasil penelitian Yuliani (2006) menyebutkan bahwa semakin
besar kekuasaan yang dimiliki seseorang semakin besar pula godaan untuk
melakukan korupsi. Peluang terbesar
terjadinya korupsi ada di birokrasi sebagai organisasi publik penyelenggara pemerintahan
dan pelayanan publik sehari-hari. Meskipun tidak menutup kemungkinan pihak
swasta juga dapat terjerat korupsi.
Maka hati-hatilah kita sebagai abdi
negara, terlebih lagi para pejabat yang memiliki kewenangan mengatur keuangan. Jangan
menjadi budak nafsu. Karena menuruti nafsu memperkaya diri dengan jalan yang tidak
benar, maka akan berpeluang teperangkap dalam jebakan korupsi.
Mari perkuat iman dan perbanyaklah
ibadah. Selalu berdzikir dan mengingat diri bahwa korupsi adalah perbuatan
tercela. Selalu berdo’a agar kita dijauhkan dari segala godaan kemaksiatan
dunia. Sholatlah selalu meskipun saat sedang sibuk-sibuknya bekerja. Waktu sholat
bukan waktu sampingan. Namun kebutuhan utama. Sesibuk apapun bekerja, sholat
tetap wajib dilaksanakan. Insya Allah sholat yang benar akan menjauhkan diri
dari perbuatan kemunkaran.
(Abdurrahman, @banjarbaru, 04022018)