14 February, 2013

#20 Ancaman Teori Jebakan Malthus Pada Penduduk Indonesia

RILEY (2009) dalam sebuah tulisannya, menguraikan sebuah teori tentang teori Jebakan Penduduk (Population Trap Theory) Malthus,
“The Malthusian Trap is the theory that, as population growth is ahead of agricultural growth, there must be a stage at which the food supply is inadequate for feeding the population. This was originally devised by Robert Malthus in An Essay on the Principle of Population in 1798, arguing that food supply expansion is linear whereas human growth is exponential (p. 1).
Meskipun teori ini sudah berumur 2 abad lebih, namun pembahasannya masih relevan dengan kondisi sekarang. Todaro dan Smith (2006) memberikan penjelasan lebih lanjut, Thomas Malthus merumuskan sebuah konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns). Malthus melukiskan kecenderungan universal bahwa jumlah populasi di suatu negara akan meningkat sangat cepat menurut deret ukur atau tingkat geometrik setiap 30 atau 40 tahun, kecuali jika hal itu diredam oleh bencana kelaparan. Sementara itu, karena adanya proses pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap, yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat aritmetik (p. 329).
 
Teori ini memberi arti bahwa pertumbuhan produksi pangan tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Jika keadaan ini dibiarkan, maka pada saatnya akan tejadi kondisi di mana pangan tidak dapat menyediakan bagi kebutuhan manusia sehingga menimbulkan kekhawatiran seperti kelaparan dan masalah sosial.

Pada perkembangannya, kekhawatiran Malthus ternyata tidak semuanya benar terjadi. Banyak ahli ekonomi klasik pada abad ke-19 yang kemudian membantah teori Malthus, sehingga muncul aliran anti-malthusian. Anti-Malthusian mengatakan bahwa kekhawatiran krisis pangan akan terhindar dengan adanya inovasi teknologi pertanian. Malthus belum mempertimbangkan demikian, karena Jebakan Penduduk Malthus muncul sebelum adanya revolusi industri di Eropa.

Namun demikian, teori Jebakan Penduduk Malthus membuat banyak pihak menjadi terbuka, bahwa jika tidak ada inovasi dalam teknologi pertanian pangan, maka kehawatiran Malthus sangat mungkin terjadi. Inilah yang kemudian melandasi bahwa ketersedian pangan menjadi penting.

Definisi Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan (food security) dewasa ini adalah konsep yang lebih luas dibanding istilah ketersediaan pangan (food supply). Ketahanan pangan tidak hanya berbicara ketersediaan pangan, namun juga pada aspek yang lebih luas, termasuk dalam hal akses.

The State of Food Insecurity (2001) mendefinisikan bahwa ketahanan pangan adalah, “a situation that exists when all people, at all times, have physical, social and economic access to sufficient, safe and nutritious food that meets their dietary needs and food preferences for an active and healthy life”.

Di Indonesia definisi ketahanan pangan ada dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Jadi poin penting pada konsep ketahanan pangan adalah selain tersedianya pangan yang cukup bagi penduduk, juga tersedianya akses untuk mendapatkan pangan tersebut.

Konsumsi vs Produksi Beras
Hasil Susenas 2011 yang dilakukan oleh BPS, konsumsi beras perkapita perhari sebesar 919,1 kalori atau 47,08 persen dari total konsumsi pangan keseluruhan. Meskipun angka konsumsi beras mengalami tren menurun, namun persentasenya tetap dominan, yang menunjukkan bahwa konsumsi penduduk Indonesia lebih banyak pada beras. Ini artinya beras merupakan pangan yang sangat penting. Oleh sebab itu membahas ketersediaan beras dalam kontelasi ketahanan pangan Indonesia adalah suatu keharusan. Secara agregat, jumlah konsumsi beras sangatlah besar. Karena terkait dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar. Harmadi (2012), dalam tulisannya menyebutkan, Kebutuhan beras Indonesia, menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Rata-rata konsumsi beras perkapita mencapai 139 kg. Dengan jumlah penduduk sebanyak 237,6 juta pada tahun 2010 saja, dibutuhkan sedikitnya 33 hingga 34 juta ton beras per tahun. Sementara produksi beras dalam negeri tahun 2010 sekitar 38 juta ton, yang berarti terdapat surplus sebanyak 4 juta ton beras (p. 2).

Dilihat dari sisi produksi, produksi beras nasional yang diukur dalam Gabah Kering Giling (GKG) menunjukkan tren yang meningkat dari 2001 hingga 2010. Peningkatan ini salah satunya disebabkan bertambahnya luasan panen padi. Namun demikian, tahun 2011 produksi beras menurun menjadi 65.756.904 ton, seiring dengan menurunnya luasan panen. Gambar di bawah melihat lebih detil beberapa daerah yang mengalami penurunan produksi beras.

Ancaman Jebakan Populasi Malthus Pada Indonesia
Kedepannya penduduk Indonesia akan terus tumbuh, terlebih lagi pada periode 2000-2010 laju pertumbuhan meningkat menjadi 1,49 persen dari periode 1990-2000 sebesar1,45 persen. Dengan menggunakan perhitungan aritmetik saja, setiap tahunnya penduduk Indonesia bertambah sebanyak 3,5 juta. Sebaliknya, pada sisi supply, produksi beras terancam menurun, karena konversi lahan pertanian ke non pertanian semakin gencar. Dalam kerangka pikir ketahanan pangan jelas hal ini adalah sebuah masalah. 
 
Ancaman pertambahan penduduk yang relatif besar pada sisi demand, dan ancaman penurunan produksi beras pada sisi supply merupakan 2 hal yang menjadi perhatian penting bagi ahli kependudukan, pertanian dan pemerintah untuk duduk bersama. Hasil Sensus Penduduk 2010 telah memberikan warning bahwa laju pertumbuhan merangkak naik dan dikhawatirkan menjadi “tak terkendali”, maka bisa jadi teori jebakan populasi Malthus terbukti di Indonesia.

 
Implikasi Kebijakan
Berbicara ketahanan pangan sama artinya berbicara pada dua sisi, sisi supply pada produksinya, dan sisi demand pada konsumsi penduduk. Oleh karena itu, membahas salah satu saja tidak mungkin permasalahan akan terselesaikan dengan baik. Dewasa ini kebijakan kependudukan menjadi berperan vital hampir pada semua aspek pembangunan, tak terkecuali bidang ketahanan pangan.

Pertama pada sisi supply. Produksi beras nasional menurut data yang dirilis BPS trennya meningkat, meski sempat turun dari tahun 2010 ke 2011 sebagaimana pada bahasan sebelumnya. Jumlah beras yang dikonsumsi sangat besar dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Sebagai gambaran, Ariani (2007) menyebutkan bahwa konsumsi beras pada tahun 2005 mencapai 105,2 kg, yang berarti sekitar 31,9 kali lebih besar dari pada konsumsi jagung; 12,5 kali konsumsi terigu dan 7 kali konsumsi ubi kayu. Terkait dengan besarnya proporsi konsumsi beras, muncul sebuah ide diversifikasi pangan. Disinilah letak kebijakan pemerintah yang bisa disosialisasikan kepada masyarakat pada sisi demand. Penduduk tidak lagi menggantungkan beras sebagai pangan sumber karbohidrat. Pangan lain yang mempunyai fungsi sama sebagai sumber energi semisal makanan dari tepung gandum, jagung, atau ubi-ubian dapat menjadi pengganti. 
 
Diversifikasi ternyata sejalan dengan kebijakan yang dianjurkan oleh Kepala Badan Ketahanan Pangan, Achmad Suryana (2011), “strategi umum ketahanan pangan yang dirancang saat ini diarahkan tidak hanya pada pencapaian ketahanan pangan tetapi menuju kepada kemandirian pangan. hal tersebut dilakukan dengan mengacu pada peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan, peningkatan diversifikasi pangan”. Pada sisi demand lainnya adalah pengendalian jumlah penduduk. Bagi sebuah negara besar seperti Cina, India dan Amerika Serikat kebijakan pengendalian menjadi prioritas, tak terkecuali Indonesia. Tjiptoherijanto (1999) mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi berarti pula membutuhkan penyediaan pangan, perumahan lahan untuk bekerja dan lapangan pekerjaan yang cukup.

Dengan demikian, ketika supply dan demand pangan berimbang, di mana kebutuhan penduduk dalam keadaan tercukupi dalam hal ketersediaan dan aksesnya, maka teori jebakan populasi Malthus tidak akan terbukti sampai kapanpun. Semoga (=man=)

No comments:

Post a Comment