23 July, 2016

#23 Sungai Danau: Keramaian yang Mulai Memudar

Foto: Dokumentasi Pribadi Abdurrahman 



Foto di atas diambil pada bulan Juli 2016. Foto ini menggambarkan suasana di salah satu ruas Jalan utama di Sungai Danau. Terlihat lengang, sepi dan tidak banyak lalu lalang kendaraan. Toko-toko, serta warung makan di pinggir terlihat banyak yang tutup. Foto ini cukup menggambarkan bahwa Sungai Danau saat ini sudah berbeda dibandingkan 5 (lima) tahun yang lalu. Mengapa bisa demikian? Apa yang sebenarnya terjadi di Sungai Danau?


Sungai Danau dan Aktivitas Warganya
Sungai Danau, atau kadangkala masyarakat di Tanah Bumbu menyebutnya dengan singkatan Sudan, adalah salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu. Wilayah Sungai Danau sebagian besarnya berada di lintasan Jalan Negara Trans Kalimantan, yakni Jl. Ahmad Yani. Pusat Sungai Danau berjarak 167 Km dari Banjarmasin dan sekitar 105 Km dari Batulicin, ibu kota Kabupaten Tanah Bumbu.

Sungai Danau sejatinya merupakan pusat perkotaan, pusat perekonomian sekaligus ibu kota kecamatan Satui. Sebagai pusat perdagangan, Sungai Danau tidak hanya “melayani” warga Satui, namun juga bagi masyarakat kecamatan Angsana. Bahkan masyarakat kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut pun, yang secara geografis berbatasan langsung dengan kecamatan Satui juga ke Sungai Danau.

Di Sungai Danau juga pusat perkantoran, baik instansi pemerintah maupun swasta serta BUMN. Khusus instansi swasta, lebih dominan adalah kantor berbagai perusahaan batu bara, seperti PT. Arutmin, Thiess, dan lain sebagainya. Perusahaan batu bara berlokasi di wilayah ini karena Satui secara umum merupakan wilayah yang terdapat pertambangan batu bara. Lokasinya tersebar di kecamatan Satui. Di Luar Tanah Bumbu, Sungai Danau menjadi representasi sebagai sebuah daerah penghasil Batu Bara. Batu bara dari kawasan ini menyuplai bahan baku listrik untuk pulau Jawa. Namun sebagian besarnya menjadi komoditas ekspor ke negeri seberang utamanya Tiongkok. 

Sekitar tahun 2000 hingga 2005, bertepatan dengan masa awal terbentuknya pada tahun 2003 Kabupaten Tanah Bumbu sebagai daerah otonom, bisnis batu bara booming. Investasi batu bara menjadi semacam ngetren di kalangan pebisnis, tidak hanya lokal Kalimantan namun merambah hingga Nasional. Meskipun bisnis memerlukan modal yang cukup besar, namun bagi pebisnis yang mengerti break event point (pengembalian modal) yang relatif singkat, menjadikan bisnis batu bara semakin diminati. Dampaknya Satui, kebanjiran pendatang yang ingin mencoba peruntungan di tengah perekonomian Satui yang melejit. Berbagai macam profesi dari berbagai sektor usahapun menggeliat. Tenaga kerja berpendidikan dengan keahlian di bidang pertambangan mengisi sektor pertambangan dan manajemennya. Pada posisi ini banyak diisi oleh migran yang berasal dari luar pulau Kalimantan. Pedagang berbagai komoditas di pasar Sungai Danau semakin ramai yang sebagian besarnya berasal dari kawasan Hulu Sungai dan Sekitaran Banjarmasin. Warung makan tumbuh bak jamur di musim penghujan. Beragaram makanan tersedia, dari makanan Banjar, Jawa, Padang, dan lain sebagainya. 

Kondisi ini terjadi hingga puncaknya di tahun 2012. Keramaian masih terlihat bahkan hingga malam hari. Namun sejak tahun 2013 setelah ada sinyal pelemahan kinerja sektor batu bara, akibat dari penurunan harga batu bara dunia dan menurunnya permintaan impor batu bara di negeri Tiongkok. Perlahan keramaian Sungai Danau mulai berkurang. Tahun 2013-2014, perusahaan batu bara mulai merumahkan pekerjanya, hingga mem-PHK. Rumah-rumah karyawan batu bara perlahan mulai ditinggal penghuninya. Warung-warung makan secara perlahan mulai tutup satu persatu, karena semakin sepinya pembeli. 

Seorang ibu yang kini telah kembali ke Sungai Tabuk, secara tidak sengaja bertemu beliau, bercerita bahwa ia telah tinggal di Sungai Danau selama 13 tahun. Beliau seorang pembuat wadai (kue basah). Dalam sehari ia mampu menjual sekitar 1.000 biji kue. Perlahan omsetnya terus menurun, hingga ia bersama keluarga memutuskan kembali ke Sungai Tabuk pada tahun 2014 silam, karena hasil penjualan tidak dapat menutupi biaya produksi.

Sebuah hotel Melati yang terletak di pinggiran jalan raya, tempat saya pernah menginap ketika sedang dinas di Satui, kini telah tutup. Bangunan hotel tersebut terlihat tidak terawat, dan terkesan seperti bangunan tua. Hotel bintangpun juga merasakan dampaknya. tingkat kunjungan tamu hotel yang menginap mengalami penurunan.

Sementara warung makan yang dulunya menjadi tempat persinggahan moda transportasi bis, minibus, dan colt, sebagian besarnya telah tutup. Yang buka dapat dihitung dengan jari. Sungai Danau tidak lagi menjadi prioritas sebagai tempat singgah. persinggahan itu, kini telah beralih ke Asam-Asam di Kabupaten Tanah Laut. Secara kasat mata, sekitar 90 persen moda transportasi trayek jauh seperti Batulicin-Banjarmasin atau Kotabaru-Banjarmasin lebih memilih Asam-asam sebagai tempat persinggahan dan atau mengisi perut penumpang beserta supirnya. Melihat Asam-Asam sekarang, di mana tersedia berbagai warung makan, rasanya seperti melihat Sungai Danau lima tahun yang lalu.


Siapa yang “Setia” di Sungai Danau?
Siapa saja yang masih tersisa di Sungai Danau? Pertanyaan ini pernah saya ajukan kepada Ibu di Sungai Tabuk tadi. Mereka yang tetap bertahan di Sungai Danau secara umum adalah mereka yang tidak meninggalkan Sungai Danau karena berbagai alasan. Pertama adalah kelompok penduduk asli, termasuk pula pendatang yang menikah dengan penduduk asli. Ya, jauh sebelum Sungai Danau ramai karena batu baranya dan menjadi tempat tujuan migrasi oleh pendatang, Sungai Danau telah dihuni oleh pendahulunya, yang dapat dianggap sebagai penduduk asli. Mereka ini umumnya berasal dari wilayah desa Satui barat, yang berbatasan dengan Sungai Danau atau yang biasa disebut Satui Kampung. Adapula yang berasal dari perkampungan di desa Satui Timur. Mereka tetap tinggal di Sungai Danau, karena Sungai Danau tempat mereka berasal, tanah kelahiran dan dan tempat mereka dibesarkan. 

Kelompok kedua adalah mereka bukan penduduk asli namun tetap bertahan dan menerima kondisi sekarang. Mereka bertahan bisa karena tidak memiliki tempat tinggal selain di Sungai Danau, seraya berharap perekonomian keluarga dapat terus berlanjut. Sebagian dari mereka bisa saja “membanting setir” mencari nafkah dari sektor batu bara ke sektor lain agar tetap mendapatkan penghasilan untuk keluarga. Kelompok ketiga adalah mereka yang tinggal di Sungai Danau karena pekerjaan dan tugas. Mereka ini terdiri dari pekerja dari perusahaan yang masih mampu bertahan, pegawai Bank, pegawai negeri dan aparat pemerintahan lainnya, termasuk pula dari unsur kepolisian dan TNI. Ketiga kelompok ini yang tetap setia tinggal di Sungai Danau. Bekerja dan seraya berharap Sungai Danau menjadi ramai kembali. 

Semoga harapan mereka ini menjadi nyata. Sungai Danau menjadi ramai kembali. Sungai Danau menjadi kota yang berkembang pesat, lebih pesat dibandingkan periode 2012-an. Entah kapan? Semoga tidak lama. (Abdurrahman, Banjarmasin 23 Juli 2016).

No comments:

Post a Comment