Foto: Dokumentasi Pribadi Abdurrahman
Foto
di atas diambil pada bulan Juli 2016. Foto ini menggambarkan suasana di salah
satu ruas Jalan utama di Sungai Danau. Terlihat lengang, sepi dan tidak banyak
lalu lalang kendaraan. Toko-toko, serta warung makan di pinggir terlihat banyak
yang tutup. Foto ini cukup menggambarkan bahwa Sungai Danau saat ini sudah berbeda
dibandingkan 5 (lima) tahun yang lalu. Mengapa bisa demikian? Apa yang
sebenarnya terjadi di Sungai Danau?
Sungai Danau
dan Aktivitas Warganya
Sungai
Danau, atau kadangkala masyarakat di Tanah Bumbu menyebutnya dengan singkatan
Sudan, adalah salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Satui, Kabupaten
Tanah Bumbu. Wilayah Sungai Danau sebagian besarnya berada di lintasan Jalan
Negara Trans Kalimantan, yakni Jl. Ahmad Yani. Pusat Sungai Danau berjarak 167
Km dari Banjarmasin dan sekitar 105 Km dari Batulicin, ibu kota Kabupaten Tanah
Bumbu.
Sungai
Danau sejatinya merupakan pusat perkotaan, pusat perekonomian sekaligus ibu
kota kecamatan Satui. Sebagai pusat perdagangan, Sungai Danau tidak hanya “melayani”
warga Satui, namun juga bagi masyarakat kecamatan Angsana. Bahkan masyarakat
kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut pun, yang secara geografis berbatasan
langsung dengan kecamatan Satui juga ke Sungai Danau.
Di
Sungai Danau juga pusat perkantoran, baik instansi pemerintah maupun swasta serta
BUMN. Khusus instansi swasta, lebih dominan adalah kantor berbagai perusahaan
batu bara, seperti PT. Arutmin, Thiess, dan lain sebagainya. Perusahaan batu
bara berlokasi di wilayah ini karena Satui secara umum merupakan wilayah yang
terdapat pertambangan batu bara. Lokasinya tersebar di kecamatan Satui. Di Luar
Tanah Bumbu, Sungai Danau menjadi representasi sebagai sebuah daerah penghasil
Batu Bara. Batu bara dari kawasan ini menyuplai bahan baku listrik untuk pulau
Jawa. Namun sebagian besarnya menjadi komoditas ekspor ke negeri seberang utamanya
Tiongkok.
Sekitar
tahun 2000 hingga 2005, bertepatan dengan masa awal terbentuknya pada tahun
2003 Kabupaten Tanah Bumbu sebagai daerah otonom, bisnis batu bara booming. Investasi batu bara menjadi
semacam ngetren di kalangan pebisnis,
tidak hanya lokal Kalimantan namun merambah hingga Nasional. Meskipun bisnis
memerlukan modal yang cukup besar, namun bagi pebisnis yang mengerti break event point (pengembalian modal)
yang relatif singkat, menjadikan bisnis batu bara semakin diminati. Dampaknya Satui,
kebanjiran pendatang yang ingin mencoba peruntungan di tengah perekonomian Satui
yang melejit. Berbagai macam profesi dari berbagai sektor usahapun menggeliat. Tenaga
kerja berpendidikan dengan keahlian di bidang pertambangan mengisi sektor pertambangan
dan manajemennya. Pada posisi ini banyak diisi oleh migran yang berasal dari
luar pulau Kalimantan. Pedagang berbagai komoditas di pasar Sungai Danau
semakin ramai yang sebagian besarnya berasal dari kawasan Hulu Sungai dan Sekitaran
Banjarmasin. Warung makan tumbuh bak jamur di musim penghujan. Beragaram makanan
tersedia, dari makanan Banjar, Jawa, Padang, dan lain sebagainya.
Kondisi
ini terjadi hingga puncaknya di tahun 2012. Keramaian masih terlihat bahkan
hingga malam hari. Namun sejak tahun 2013 setelah ada sinyal pelemahan kinerja
sektor batu bara, akibat dari penurunan harga batu bara dunia dan menurunnya
permintaan impor batu bara di negeri Tiongkok. Perlahan keramaian Sungai Danau
mulai berkurang. Tahun 2013-2014, perusahaan batu bara mulai merumahkan
pekerjanya, hingga mem-PHK. Rumah-rumah karyawan batu bara perlahan mulai
ditinggal penghuninya. Warung-warung makan secara perlahan mulai tutup satu
persatu, karena semakin sepinya pembeli.
Seorang
ibu yang kini telah kembali ke Sungai Tabuk, secara tidak sengaja bertemu
beliau, bercerita bahwa ia telah tinggal di Sungai Danau selama 13 tahun. Beliau
seorang pembuat wadai (kue basah). Dalam
sehari ia mampu menjual sekitar 1.000 biji kue. Perlahan omsetnya terus menurun,
hingga ia bersama keluarga memutuskan kembali ke Sungai Tabuk pada tahun 2014
silam, karena hasil penjualan tidak dapat menutupi biaya produksi.
Sebuah
hotel Melati yang terletak di pinggiran jalan raya, tempat saya pernah menginap
ketika sedang dinas di Satui, kini telah tutup. Bangunan hotel tersebut
terlihat tidak terawat, dan terkesan seperti bangunan tua. Hotel bintangpun juga
merasakan dampaknya. tingkat kunjungan tamu hotel yang menginap mengalami
penurunan.
Sementara
warung makan yang dulunya menjadi tempat persinggahan moda transportasi bis,
minibus, dan colt, sebagian besarnya
telah tutup. Yang buka dapat dihitung dengan jari. Sungai Danau tidak lagi menjadi
prioritas sebagai tempat singgah. persinggahan itu, kini telah beralih ke
Asam-Asam di Kabupaten Tanah Laut. Secara kasat mata, sekitar 90 persen moda
transportasi trayek jauh seperti Batulicin-Banjarmasin atau Kotabaru-Banjarmasin
lebih memilih Asam-asam sebagai tempat persinggahan dan atau mengisi perut
penumpang beserta supirnya. Melihat Asam-Asam sekarang, di mana tersedia
berbagai warung makan, rasanya seperti melihat Sungai Danau lima tahun yang
lalu.
Siapa yang “Setia”
di Sungai Danau?
Siapa
saja yang masih tersisa di Sungai Danau? Pertanyaan ini pernah saya ajukan
kepada Ibu di Sungai Tabuk tadi. Mereka yang tetap bertahan di Sungai Danau secara
umum adalah mereka yang tidak meninggalkan Sungai Danau karena berbagai alasan.
Pertama adalah kelompok penduduk
asli, termasuk pula pendatang yang menikah dengan penduduk asli. Ya, jauh
sebelum Sungai Danau ramai karena batu baranya dan menjadi tempat tujuan
migrasi oleh pendatang, Sungai Danau telah dihuni oleh pendahulunya, yang dapat
dianggap sebagai penduduk asli. Mereka ini umumnya berasal dari wilayah desa
Satui barat, yang berbatasan dengan Sungai Danau atau yang biasa disebut Satui
Kampung. Adapula yang berasal dari perkampungan di desa Satui Timur. Mereka tetap
tinggal di Sungai Danau, karena Sungai Danau tempat mereka berasal, tanah
kelahiran dan dan tempat mereka dibesarkan.
Kelompok
kedua adalah mereka bukan penduduk
asli namun tetap bertahan dan menerima kondisi sekarang. Mereka bertahan bisa karena
tidak memiliki tempat tinggal selain di Sungai Danau, seraya berharap
perekonomian keluarga dapat terus berlanjut. Sebagian dari mereka bisa saja “membanting
setir” mencari nafkah dari sektor batu bara ke sektor lain agar tetap
mendapatkan penghasilan untuk keluarga. Kelompok
ketiga adalah mereka yang tinggal di Sungai Danau karena pekerjaan dan tugas. Mereka
ini terdiri dari pekerja dari perusahaan yang masih mampu bertahan, pegawai
Bank, pegawai negeri dan aparat pemerintahan lainnya, termasuk pula dari unsur
kepolisian dan TNI. Ketiga kelompok ini yang tetap setia tinggal di Sungai
Danau. Bekerja dan seraya berharap Sungai Danau menjadi ramai kembali.
No comments:
Post a Comment